Ilmu Pengetahuan di Ambang Krisis: Apa yang Sebenarnya Kita Salah Pahami?

Andy Riyan
5 min readAug 2, 2024

--

Sudah lama sekali pikiran saya dikacaukan dengan istilah ‘ilmu pengetahuan’. Banyak yang sudah tahu bahwa tentu ada perbedaan antara ilmu dan pengetahuan. Namun kesulitan untuk menguraikan istilah itu membuat mereka menganggap dua hal tersebut adalah sama, hanya beda nama, semacam suatu sinonim saja. Kekacauan pemahaman itu semakin diperparah ketika ilmu dan pengetahuan dirangkai secara tidak tepat menjadi kata majemuk; ilmu pengetahuan, dan dilafalkan dengan pemenggalan yang samar-samar. Contoh penggunaannya seperti yang sudah kita kenal selama ini; IPA, Ilmu Pengetahuan Alam; IPS, Ilmu Pengetahuan Sosial.

Banyak yang menyangka pemenggalan istilah tersebut menjadi seperti ini: Ilmu-pengetahuan… alam, ilmu-pengetahuan… sosial. Padahal semestinya pemenggalannya begini: ilmu… pengetahuan-alam, ilmu… pengetahuan-sosial.

Kekacauan dalam pemenggalan istilah tersebut akan mengacaukan pemahaman kita terhadap istilah itu sendiri. Sebab ada perbedaan antara ilmu dan pengetahuan, sehingga apabila dua kata tersebut dirangkai menjadi kata majemuk ‘ilmu pengetahuan’ akan melahirkan istilah baru yang artinya lain sama sekali dengan arti ilmu maupun pengetahuan.

Untuk mengurai kekacauan tersebut mari kita bedah bersama-sama.

credit pict: artspark on Pixabay

Definisi Ilmu dan Pengetahuan

Pengetahuan dipahami sebagai suatu kebenaran yang disimpulkan berdasarkan informasi dan pengalaman yang diterimanya berulang-ulang. Ia adalah keseluruhan pengalaman yang belum tersusun, informasi yang berupa ‘umumnya’, diperoleh tanpa metode dan mekanisme tertentu.

Menurut Supriyanto 2003, “Pengetahuan tidak teruji karena kesimpulannya ditarik berdasarkan asumsi yang tidak teruji terlebih dahulu. Pencarian pengetahuan lebih cenderung trial dan error berdasarkan pengalaman belaka.” (Nurdin, 2019)

Sedangkan ilmu adalah akumulasi pengetahuan yang menjelaskan hubungan sebab-akibat dari suatu obyek kajian ilmu berdasarkan metode-metode tertentu yang merupakan suatu kesatuan sistematis, obyektif dan rasional (Nurdin, 2019).

M. Khudori Soleh dalam Bukunya Epistemologi Islam: integrasi agama, filsafat, dan sains dalam perspektif Al-Farabi dan Ibnu Rusyd mengatakan bahwa, “Menurut Al-Farabi, seperti dikutip Majid Fakhry dari Fushul al-Muntazi’ah, apa yang dimaksud sebagai al-’ilm adalah kepastian yang dicapai oleh jiwa tentang suatu objek, yang mana kepastian tersebut diperoleh dari penalaran logis berdasarkan teori-teori atau konsep yang benar, pasti, dan unggul.” (Soleh, 2017)

“Kesimpulan yang benar yang diperoleh melalui alur kerangka pikiran dengan menggunakan penalaran adalah bersifat logis dan analitis, sedangkan yang diperoleh melalui perasaan dan hanya melalui keyakinan atau kepercayaan bersifat tidak logis dan tidak analitis. Selanjutnya dari hasil penalaran logis dan anlitis diperoleh pengetahuan yang disebut ilmu, sedangkan dari perasaan dan keyakinan atau kepercayaan disebut sebagai pengetahuan seni dan agama.” (Nurdin, 2019)

Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa ilmu adalah suatu persoalan yang dapat menimbulkan perasaan yakin di dalam jiwa seseorang mengenai perkara-perkara yang berkaitan dengan persoalan tersebut hingga tingkat pasti. Jika suatu objek tidak dapat menjamin kepastian jiwa (masih menyisakan suatu keraguan) pada diri seseorang, betapa pun informasi mengenainya adalah sesuatu yang mendalam, kaya, indah, benar, dan… boleh dibilang adalah kebenaran itu sendiri, selama ia belum mencapai jiwa seseorang dengan tingkat yang pasti, perkara tersebut belum menjadi ilmu bagi orang tersebut. Inilah sebabnya tidak jarang argumen yang diungkapkan oleh ahli ilmu masih sulit diterima, bahkan cenderung ditolak oleh banyak orang.

Salah satu syarat agar seseorang dapat meraih ilmu sebagai kepastian yang dapat diterima oleh jiwanya adalah ia (seseorang itu sendiri) pertama-tama harus mampu bernalar dengan logis. Selain itu ia mesti menguasai suatu metodologi tertentu yang dapat ia gunakan sebagai alat untuk memvalidasi dan memverifikasi pengetahuan yang diterimanya. Selanjutnya berdasarkan nalar dan metodologi yang diyakininya benar dan valid itu, ia dapat menerima perkara (pengetahuan) tersebut sebagai sesuatu kebenaran yang bebas dari bias, asumsi pribadi, dan keinginan hawa nafsunya.

Dengan bahasa yang lebih sederhana, ilmu hanya dimiliki oleh orang yang menguasai suatu metodologi, baik yang ia kembangkan sendiri, atau ia pelajari dari orang lain. Dengan kata lain, ilmu adalah milik para pakar di bidangnya masing-masing. Suatu argumen yang dikeluarkan seseorang tanpa melalui suatu metodologi yang dikuasai, dan ia dapat mempertahankannya dengan metodologi tersebut, argumen tersebut tidak mencapai derajat ilmu. Itu artinya argumennya hanya berdasarkan pandangan yang subyektif, bias, dan persangkaan belaka. Paling buruk adalah argumen dengan derajat yang ngawur.

Akhirnya yang paling penting, supaya kita tidak menjadi orang yang sama sekali buta terhadap ilmu, maka harus menguasai minimal satu metodologi. Untuk menguasai minimal satu metodologi, minimal harus menguasai satu epistemologi. Sebagaimana dikatakan oleh Hasan Hanafi dan Baqir Sadr, “Siapa yang tidak menguasai epistemologi akan sulit atau bahkan tidak mampu mengembangkan ilmunya, karena yang bersangkutan berarti tidak mempunyai alat dan metode untuk mengembangkan keilmuannya.” (Soleh, 2017)

Credit Pict: JohnsonMartin on Pixabay

Syarat Supaya Pengetahuan Naik Derajat Menjadi Ilmu Menurut al-Farabi

Syarat yang harus dipenuhi supaya pengetahuan naik level menjadi ilmu menurut al-Farabi adalah pasti dan universal pada subyek kajiannya. Pada aspek metode, syarat yang harus dipenuhi supaya pengetahun menjadi ilmu yaitu pengetahuan yang diperoleh tersebut harus dihasilkan melalui metode tertentu yang dinilai valid.

Apa Yang Dimaksud Pasti Dan Universal Pada Subyek Kajian Ilmu?

Subyek kajian ilmu dinilai pasti jika premis-premisnya tetap dan tidak berubah. Sedemikian sehingga jika suatu kajian yang sedang diuji menghasilkan kesimpulan benar untuk saat ini, namun di lain waktu dapat berubah (salah), maka ia tidak dapat disebut tetap. Konsekuensinya pengetahuan tersebut hanya berlaku pada saat dan situasi tertentu saja sehingga tidak memenuhi syarat sebagai kajian ilmu.

Subyek kajian ilmu dinilai universal jika premis-premis yang dijadikan dasar nalar berfikir berlaku umum di setiap tempat (di mana saja), tidak terbatas pada wilayah tertentu.

Metode Apa Yang Dapat Dijadikan Sebagai Dasar Untuk Memvalidasi dan Memverifikasi Pengetahuan Supaya Menjadi Ilmu?
Jawab: Metode Ilmiah Syarat Yang Cukup Untuk Menguji Ilmu

Metode Ilmiah dapat dijadikan sebagai dasar untuk memvalidasi dan memverifikasi pengetahuan menjadi tingkat ilmu sebab, metode ilmiah memiliki beberapa kerangka dasar dan pendekatan untuk mencapai kesimpulannya. Diantaranya melalui tahap-tahap berikut:
1.
Metode Observasi

2. Metode Eksperimen

3. Metode Survey

4. Metode Studi Kasus

5. Metode Komparatif

6. Metode Kualitatif

7. Metode Kuantitatif

Ilmu bagi seseorang adalah nisbi. Namun ilmu bagi ilmu adalah pasti, universal, dan benar. Dapat dibuktikan dengan suatu metode dan dapat mempertahan metode dan argumennya.

Otoritas keilmuan hanya dimiliki oleh para pakar, dan mereka mampu mempertahankan metodologinya sampai taraf tak lagi terbantahkan. Akankah… kita masih memercayai pendapat-pendapat, argumen-argumen subyektif dari orang-orang yang kemungkinan besar mengidap penyakit bias heuristik yang menjadi musuh bagi keilmuan?

Pustaka
Nurdin, I., & Hartati, S. (2019).
Metodologi Penelitian Sosial. Media Sahabat Cendekia.

Soleh, A. K. (2017). Epistemologi Islam: integrasi agama, filsafat, dan sains dalam perspektif Al-Farabi dan Ibnu Rusyd (Cetakan I). Depok, Sleman, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

--

--

Andy Riyan

Aku adalah temanmu, menemanimu menenun gagasan karena menulis adalah obat bagi jiwa yang tersesat. Kita tahu satu catatan lebih baik dari seribu ingatan.